SELAMAT DATANG DI BLOG SRI YADRIHA PAKAYA DAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

10 November 2014

Discourse Analysis.??

Ditulis oleh Sri Yadriha Pakaya

Kata ‘wacana’ dalam bahasa Indonesia secara umum dipakai sebagai padanan kata‘discourse’ dalam bahasa Inggris, meskipun ada juga yang menerjemahkannya sebagai diskursus.
Dalam pengertian di atas, wacana secara umum dapat berarti  (1) komunikasi verbal atau percakapan;  (2)  keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan/ satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh; (3)  kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis dan kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat (KBBI Daring,Cambridge Dictionary Online).  Namun dalam konteks Analisis Wacana (discourse analysis),  para ahli umumnya bersetuju bahwa wacana adalah konsep yang mengaitkan pemakaian bahasa dengan konteks sosialnya. Oleh karena itu, analisis wacana dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk memahami interaksi sosial dengan menganalisis medium yang dipakainya, yaitu bahasa.
Karena dalam analisis wacana bahasa dipakai sekaligus sebagai medium yang dianalisis dan medium analisis, maka bahasa memiliki kedudukan yang kompleks dalam analisis wacana. Pertanyaannya adalah, apakah bahasa merupakan realitas objektif yang berdiri sendiri, lepas dari subjek (pemakai bahasa) dan objek (realitas di luar bahasa atau yang dibicarakan/direpresentasikan oleh bahasa)?
Ada sekurang-kurangnya tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan di atas. Pandangan pertama,yang dianut oleh pengikut aliran positivis-empiris, menyatakan bahwa bahasa merupakan realitas mandiri yang berfungsi menjembatani subjek (pemakai bahasa) dan objek (realitas di luar subjek dan bahasa atau hal yang dibicarakan/direpresentasikan oleh bahasa). Dalam pandangan ini, subjek dianggap dapat menggunakan bahasa untuk merepresentasikan realitas objek dan/atau pengalaman subjektifnnya secara gamblang dan tanpa distorsi selama kaidah-kaidah sintaksis, semantik dan logika bahasanya terpenuhi. Oleh karena itu, bagi para pengikut aliran ini, benar – salah adalah persoalan sintaksis, semantik, dan logika belaka.
Pandangan kedua, yang dikemukakan oleh para penganjur aliran konstrukvisme, menolak pandangan yang dikemukakan oleh kaum positivis-empiris di atas. Bagi kaum konstruktivis, subjek dan objek bahasa tidak dapat dipisahkan. Menurut pandangan ini, subjek tidak pernah berlaku objektif dalam menggunakan bahasa untuk merepresentasikan realitas di luar dirinya. Ia selalu melakukan kontrol atas apa yang ingin dikemukakannya melalui bahasa. Subjek selalu memiliki dan dipengaruhi oleh maksud, tujuan, harapan, keyakinan, dan nilai dalam menggunakan bahasa, dan muatan-muatan itu turut bermain di dalam bahasa yang digunakannya. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, setiap pernyataan pada dasarnya adalah konstruksi subjek atas objek, dan benar – salah bukan semata persoalan sintaksis, semantik, dan logika bahasa, namun juga pengungkapan maksud tersembunyi dari pernyataan subjek. Pengungkapan itu dilakukan dengan cara memahami si subjek.
Meskipun pandangan kedua di atas lebih sempurna dari pandangan pertama, namun pandangan itu dianggap masih alpa dalam memperhatikan faktor-faktor hubungan kekuasan dalam proses produksi dan reproduksi makna. Inilah yang digugat oleh pandangan wacana kritis, yang berpendirian bahwa setiap wacana selalu melibatkan konstelasi kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksinya. Individu subjek tidak pernah netral dalam proses produksi dan reproduksi makna, namun selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial  yang ada di dalam masyarakatnya. Bahasa yang tidak terpisah dari subjek, oleh karena itu, juga tidak pernah menjadi medium yang netral. Ia ikut berperan dalam membentuk identitas si subjek, tema-tema dari wacana yang di(re)produksinya, serta strategi-strategi yang dipakai dan terkandung di dalam wacananya. Dalam pandangan ini, tidak ada benar – salah yang objektif sebagaimana yang diyakini oleh kaum positivis-empiris atau kebenaran subjektif yang dicoba diungkapkan oleh para penganjur konstruktivisme . Yang ada hanyalah hubungan kekuasaan seperti apa yang terjadi di dalam wacana, karena kekuasaanlah yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh menjadi wacana, perspektif apa/siapa yang dimunculkan, dan topik apa yang dibicarakan. Pandangan wacana kritis inilah yang melahirkan dan melandasi apa yang kemudian disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) atau CDA.

0 komentar:

Posting Komentar